Pemikiran zaman yunani dan Romawi

Sebelumnya dalam alam pemikiran bangsa yunani kuno masih dipenuhi dengan pemikiran serta kepercayaan pada mitos-mitos atau dongeng-dongeng yang tidak bisa dibuktikan kejelasannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi loncatan pemikiran yang berusaha untuk menundukkan mitos –mitos atau kepercayaan itu,
hal ini dibuktikan dengan berkembangnya filsafat yunani yang ditandai dengan masa rasionalitas, dalam artian menanamkan sendi-sendi atau landasan dasar rasionalitas. pada zaman yunani kuno ini muncul tokoh-tokoh filsafat yang mengaktualkan gagasan pemikirannya, yang ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu "arche"  yaitu Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan air, Anaximandros mengusulkan yang tak terbatas, Empedokles berpendapat api-udara-tanah-air.  Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu?  Pythagoras (580-500 sM) mengatakan bahwa asas mula sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga.  Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
Puncak gemilang dari penerapan gagasan tersebut dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM). Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.  Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu.  Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya. Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani), sehingga dengan penyebar paham baru tersebut sokrates dihukum oleh pengadilan Athena, karena dianggap menyebarkan ajaran baru ke masyarakat umum. Dalam sidang tersebut sebenarnya sokrates dibuang dari Athena tapi karena kesetiannya sokrates meminim racun cemara dihadapan hadirin peserta sidang, dan akhirnya meninggal.
Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea".  Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, namun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, (benda kasat mata) bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, (benda kasat mata) kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak. Plato juga mengungkapkan pendapatnya bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya.  Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda. Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya  oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan. Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin : anima).  Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya.  Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz".  Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Filsafat Barat Abad Pertengahan (1476 – 1492) juga dapat dikatakan sebagai “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja, berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, dan berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain.
Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik.
Pemikiran filsafati patriastik (para Bapa Gereja Katolik) mengandung unsur neo-platonisme.  Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari Allah.  Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai  ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.
Zaman reinesance ditandai sebagai kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaisance ialah peralihan ketika kebudayaan abad tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman renaisance adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Seperti pada zaman Yunani kuno. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Tuhan. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada zaman renaisance. Ilmu yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi, tokh-tokohnya adalah Copernicus, Keppler, Galileo Galilei. Perkembangan ilmu pengetahuan yang dirintis sejak zaman Yunani hingga zaman Kontemporer menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri disatu pihak. Namun dipihak lain, spesialisasi ilmu yang semakin menajam menampakkan disharmoni hubungan antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain. Keadaan sperti inilah yang perlu diatasi melalui strategi perkembangan ilmu.
Zaman Renaissance atau “ kelahiran kembali” (Sekitar tahun 1400-1600), merupakan jembatan antara abad peretengahan dan zaman modern. Pada masa ini, kebudayaan Yunani dan Romawi dikaji kembali yang memberikan inspirasi bagi perkembangan seni, filsafat dan ilmu. Sasran pemikiran diarahkan kembali kepada manusia (Antropos). Manusialah yang menjadi substansi utama dari realitas, bukan kosmos ataupun Tuhan yang berda di luar diri manusia.Berkembanglah filsafat humanisme yang memberi tekanan pada derajatkemanusiaan. Masalah kebebasan manusia dipersoalkan, yaitu apakah manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan (freedom), yang memiliki kemauan bebas (free will) ataukah ia makhluk yang tidak bebas, artinya ia tidak mempunyai kebebasan untuk memilih atau untuk menentukan apa yang ingin dilakukannya. Dalam hubungan ini timbul aliran Determinisme, Indeterminismedan Self-Determinisme.


No comments:

Post a Comment