Pemerintah dan industri karet yang muncul di Indonesia dan Malaysia, tahun 1900 – 1940

By colin barlow dan jhon drabble
Pembangunan pesat didaerah khatulistiwa telah dimulai dalam 25 tahun terakhir. Pembangunan yang pesat didasarkan pada produksi beberapa komoditi primer, diantaranya karet sebagai salah satu bahan mentah baru yang besar maknanya bagi perindustrian didunia barat.
Pada tahun 1940 luas 46% dari luas permukaan tanaman karet di indonesia dimiliki oleh perusahaan perkebunan dan 54 % dimiliki oleh kaum tani kecil. Sedangkan di malaya perusahaan perkebunanmemiliki 60 % dan kaum tani kecil 40 %.

Pola Kesejarahan
            Di indonesia penanaman karet pada tanah perkebunan mengikuti contoh dari budidaya ekspor yang sudah mantap khususnya tebu dan tembakau, untuk selanjutnya diterapkan organisasi manejerial perusahaan  yang menarik modal dan pegawai dari eropa. Perusahaan perkebunan merupakan organisasi yang relatif besar dengan menejemen dan tenaga kerja yang terstruktur secara hierarkis yang menghasilkan jenis komoditi seragam melaluipabrik pengolahan pusat. Ekspor karet dan dan penjualannya di pasaran dunia diselenggaraakan melalui jaringan agen dan makelar karet.
            Industri karet khususnya para petani kecil mulai menunjukkan pertumbuhan ketika terjadi lonjakan harga luar biasa pada tahun 1909 – 1912. Hal ini juga dipengaruhi oleh naiknya pengetahuan petani yaitu dengan memperoleh benih atau bibit dari perkebunan. Kemudian para petani kecil juga menanam dengan sistem tumpang sari yaitu dengan bebarengan tanaman palawija. Jadi, meskipun meskipun mereka telah berkebun karet, kaum tani kecil itu tetap menanam tanaman pangan.
            Sebelum mulai dibudidayakan karet, perekonomian di malaya jauh kurang mengembangkan pertanian yaitu perkebunan karet dibandingkan dengan indonesia. Pada waktu itu kaum eropa sebagai kaum perintis justru memberdayakan perkebunan tebu dan kopi. Di lain pihak cara serta metode yang diterapkan mengakibatkan terkurasnya kesuburan tanah, keadaan ini ditambah lagi dengan merosotnya harga pasaran kopi setelah tahun 1894. Sehingga dengan berbagai permasalahan yang dihadapi para pekebun kopi dan tebu mendorong secara luas peralihan ke arah perkebunan karet. Dengan benih pohon karet banyak tersedia di kebun raya (botanical gardens) di singapore, dimana sudah ditemukan cara atau tekhnik penyadapan karet yang relatif baru. Pada awal abad ke 20 terjadi suatu hal dimana kaum perintis perkebunan eropa, yang sumber dananya terbatas terpaksa menjual perseroan yang baru saja didirikan. Dengan hal tersebut kaum cina tertarik untuk mengembangkan perseroan tersebut tapi dengan sistem persekutuan keluarga dan persekutuan individu. Sektor perkebunan pertanian karet milik petani kecil di Malaya tahun 1910 mengalami perteumbuhan yang tidak terlalu jauh dengan perusahaan perkebunan, para pekebun tersebut berasal dari cina dan melayu (termasuk indonesia) yang merupakan pemelopor tingginya pendapatan petani kecil.
            Di Malaya lahan sebagian besar digunakan untuk perkebunan karet, tanpa diselingi tanaman pangan, sedangkan pohon karet mencapai tahap penyadapan dalam 5-6 tahun, penyebaran perkebunan karet ini sebagian besar berpusat di semenanjung Malaya. Walaupun harga mulasi merosot setelah lonjakan harga pasaran pada tahun 1909 – 1912 perluasan tanaman karet terus berkembang baik di Malaya maupun di Indonesia. Pada zaman perang dunia 1914 – 1919 yang ditandai oleh perluasan tanaman karet, ketika harga karet meningkat karena bertambahnya permintaan dari amerika yang digunakan untuk perlengkapan menghadapi perang dunia. Sementara itu Belanda yang tetap bersikap netral mengakibatkan tidak berlaku pembatasan akibat keadaan perang terhadap industri karet di Indonesia. Sementara sebaliknya di Malaya ekspor bahan mentah yang strategis termasuk karet harus mengindahkan atau tunduk terhadap kewajiban pemerintah inggris, sedadangkan perseroan yang mengeluarkan dana berupa sterling tidak dapat mengeluarkan saham baru. Kenaikan yang sangat tinggi terjadi setelah kenaikan terjadi perang yaitu ketika perekonomian dunia barat mengalami depresi sekitar tahun 1920 sampai 1928. Dan setelah itu harga karet menurun drastis mencapai 7 penny per lb.
            Akibat sistem pembatasan ekspor yang diterapkan pemerintah inggris di malaya mengakibatkan penstabilan harga karet yang mencapai sekitar 3 shilling per lb, tapi harga karet merosot lagi selama tahun 1920 an, yang berimbas pada semakin digrogotinya industri karet oleh indonesia. Sehingga pada akhirnya pemerintah inggris menetapkan kebijakan barunya yaitu menghapus peraturan pembatasan ekspor pada akhir tahun 1928. Pertumbuhan industri karet seakan-akan terhenti saat tahun 1930 an ketika depresi besar bangsa eropa yang menimbulkan masalah yang labih gawat mengenai kapasitas produksi yang berlebihan, daripada yang dialami pada 1920 an. Harga karet di london jatuh dari 10 penny per pound pada tahun 1929 dan terus menurun sampai samapi 2 penny per pound pada tahun 1923. Begitupun di indonesia nilai ekspor merosot dari 587 juta gulden tahun 1925 samapai hanya 34 juta gulden pada tahun 1932. Setelah perundingan yang lama akhirnya perjanjian internasional pengaturan karet internasional mulai berlaku pada pertengahan tahun 1934, dengan menurunkan seluruh produksi dari negara penghasil karet alam di asia selatan maupun tenggara, perjanjian itu pada awalnya berlaku sampai tahun 1938, kemudian diperbaharui sampai tahun 1943 ( 5 tahun), dan pada akhirnya terputus karena pecah perang dengan jepang.

Sikap Terhadap Pembangunan
Pada waktu depresi tahun 1920-1922 dan tahun 1929-1932 yaitu dengan bertimbunnya persediaaan  karet di asia maupun di negara-negara industri maju. Hal ini menimbulkan efek positif dan negatif bagi petani kecil. Kemudian untuk selanjutnya hasil budidaya karet dipandang menguntungkan, sehingga pada akhir abad ke 19, motivasilah yang mendorong untuk mengembangkan perkebunan keret ini, karena dengan motivasi tersebut dianggap dengan hasil yang didapat daqri perkebunan karet dapat membangun negara induk. Cara yang dipergunakan adalah dengan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang tersedia oleh perusahaan kapital berskala besar. Sebagian besar perusahaan ini berasal daqri eropa dan dari negara induk jajahan.
            Pertumbuhan pesat dari sektor perkebunan memberikan makna bahwa lahan yang digunakan berstatus lahan bumiputera sementara modal yang digunakan dan pegawainya berasal dari eropa sedangkan pekerjanya terdiri atas kaum pendatang.  Di indonesia selama abad 19 kaum belanda telah beralih kebijakan dari penarikan komoditi ekspor ke kebijakan paksaan (tanam paksa). Setelah belanda menikmati kekayaan dari bumiputera pada akhirnya belanda menerapakan kebijakan politik etika yang bertujuan menahan kearah penderitaan dan kurang kesejahteraan kaum bumi putera. Hal ini mengakibatkan masalah bagi kaum cina yang mengalami hambatan seperti kebebasan bergerak didaerah pedesaan, dari kebijakan belanda tersebut juga memasukan kaum bumiputera menjadi tenaga buruh untuk awal penelitian karet.
            Dari keadaan demikian rasanya kurang begitu menguntungkan kaum pribumi hal ini didasari semua perekrutan tenaga pekerja di luar jawa. Sementara di malaya diberlakukan sistem kebebasan. Sementara itu di Melaya budidaya tanaman karet merupakan insiatif sendiri dari penduduk pribumi, disamping menanam bahan pangan mereka menanam karet, sehingga lahan kosong dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya, hal ini menimbulkan kerisauan pada pemerintahan inggris, karena mereka kawatir tanah pusaka mereka akan tersedot untuk tanaman karet, sehingga pemerintah inggris menetapkan peraturan mengenai pembatasantanaman karet dan mengalihkan mereka ke tanaman pangan. Dengan penghasil karet terbesar di dunia yaitu malaya dan indonesia dan seiring peristiw depresi berat pasca perang eropa menjadikan Malaya dan Indonesia menjadi sumber pendapatan yang tinggi, dan seiring berjalannya waktu terdapat desakan dari negara eropa laiannya untuk inggris dan belanda menandatangani perjanjian internasional.

Perbandingan Pengalaman
Dalam masalah tanah, khususnya di indonesia orang eropa menyewa tanah kosong kepada pemerintah ataupun pihak kerajaan, sementara sewa tanah beragam bergantung kesepakatan, biasanya sewa tanah berat ini terjadi dengan kesepakatan pihak kerajaan, yang menetapkan berbagai persyaratan yang lumayan tinggi. Bahakan di pulau jawa hampir tidak ada kebun karet tani kecil, karena keadaan tanah kosong berarti ini disediakan hanya untuk perusahaan eropa yang umumnya disetujui oleh pemerintah, sehingga kebun tani kecil terdapat pada daerah pinggiran. Hal inilah yang menyebabkan kejengkelaan dan terjadi pemberontakan sporadis karena ketidak adilan pemerintah, hal ini marak terjadi di daerah sumatra dan kalimantan dimana pemerintah membuka tanah yang besar dan tidak dipertimbangkan.
            Sebaliknya di malaya pihak penata tanah menyediakan hak guna usaha khusus bagi penduduk bumiputera yang diperkenankan mengusahakan sebidang tanah kurang dari 4 hektar dengan hak mewariskan dan menjual tanah itu, bahkan juga boleh digunakan untuk jaminan atas uang pinjaman sewa tanah rendah meskipun lebih daripada yang dikenankan untuk perusahaan perkebunan.
            Perbedaan lain adalah dibidang perwalian yang berlaku di malaya, atas dasar ini dikecualikan adalah karet. Dalam beberapa hak guna usaha dan kemudian pula dalam UU cadangan tanah malaya. UU ini benar menguntungkqn dalam menyediakan khusus untuk orang melayu namun kurang berhasil dalam menekan penanaman karet di lahan orang melayu, hal ini mengingat harga atau laba yang didapat besar. Sementara di indonesia pemerintah menanam keras penanaman karet di nlahan pertanian deiring dengan disepakatinya perjanjian internasional.
            Dalam hal tenaga kerja, kebutuhan tenaga kerja di permulaan penanaman perkebunan karet membengkak, hal ini disebabkan karena masih menggunakan metode tradisional yang membutuhkan banyak tenaga kerja, selain itu juga terdapat atau ada penyediaan tenaga kerja cadangan untuk menggantikan tenaga kerja yang sakit. Sementara itu tenaga kerja diwilayah sumatera dari kalangan pribumi tidaqk ada, hal ini didasari mungkin penduduk tersebut sudah mendapatkan untung besar dengan menggarap lahannya sendiri, daribada bekerja sebagai buruh sehingga pekerjanya didatangkan dari pulau jawa.
            Sementara di malaya buruh tamil yang akan dipekerjakan di kebun karet didatangkan dari daerah hindia selatan yang dikuasai inggris, dengan cara legal, atau agen resmi pengiriman imigran. Kaum pendatang dari india tersebut datang ke malaya tanpa terbeban oleh hutang dan tanggungan berbeda dengan kaum pendatang yang di kirim pemerintah belanda ke sumatera.
            Prasarana, pembangunan akses transportasi juga dibangun di malaya dan sumatera, dalam hal ini pembangunan ini lebih baik keadaannya di jawa karena di jawa ditentukan daerah strategis dan persyaratan lain yaitu kesuburan tanah. Dijawa juga dibangun prasaran yang sangat memadai, berbeda dengan di sumatera hanya melalui aliran sungai. Di malaya baik letak kebun karet terletak dekat dengan jalan raya yang juga digunakan untuk mengangkut pertambangan, sehingga pembangunan mencapai seluruh malaya barat tahun 1910.
            Teknologi, seiring dengan berkembangnya waktu terdapat pengembangan teknologi di keduanya yaitu malaya dan indonesia, tapi dalam perjalannannya ternyata mengambil langkah sendiri, di indonesia di kembangkan sistem budidaya yang terdapat di kebun raya bogor, ini dilakukan untuk menghasilkan bibit berkualitas baik dari amerika selatan, kemudian untuk meningkatkan mutu dari karet tersebut, mereka bekerjasama de3ngan pihak swasta untuk melakukan penelitian-penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan mutu. Sementraa di malaya sebenarnya terdapat temnpat pembudidayaan yaitu di kebun raya singapore, tetaqpi oleh pemerintah inggris tidak terlalu diperhatikan dan akhirnya melakukan penelitian tersendiri untuk meningkatkan mutu dari perkebunan karet, yang kemudian muncul penelitia swasta dari eropa yang melakukan penelitian serta eksperimen untuk digunakan sebagai bahan komersil.
            Pengaturan, telah disaksikan bahwa pengaturan pengadaan karet dengan tujuan mengukuhkan harganya telah mendapatkan perhatian namun hal ini tidak di indahkan oleh pemerintahan belanda di indonesia. Yaitu peraturan sterverson, sementara inggris memperhatikan peraturan tersebut. Ada beberapa alasan yang melandasi pemerintahan belanda tidak mematuhi hal tersebut karena anggapan resmi mengenai kebebasan tani kecil mempunyai kebebasan, kemudian keraguan terhadap pembatasan kebun tani kecil yang cukup luas, dan bertambahnya perlawanan politik rakyat daerah terhadap belanda.
            Perpajakan, di indonesia pajak utama dibebankan pada produsen karet yaitu pajak laba atas perseroan tersebut. Pajak yang dipungut atas pembelian tanah kecil serta tanah lainnya, pada tahun 1930 pemerintah yang dihadapkan pada kesulitan keuangan yang parah, mulai memungut pajak ekspor sebesar 5 %, kemudian setelah berlakunya perjaqnjian internasional di adakan pajak istimewa yang berkisar sampai 50 % dari dari laba rata-rata karet di daerah produksi karet. Sementasra di malaya dari semua dipungut biaya sebanyak 2,5 % - 3,0 % dari semua ekspor karet. Digabungkan dari premi dan sewa tanah yang dipungut dari tanah tani kebun karet, dan ini menjadi pendapatan negara yang vital. 

by ; M Mahfud Mudthofa (Penyadur)

No comments:

Post a Comment