SEJARAH AGRARIA INDONESIA DAN POLITIK ETIS BELANDA

Latar belakang
Kita mengetahui bahwa penjajahan atau ekspansi orang eropa di Indonesia sangatlah menyengsarakan penduduk pribumi, dimana orang eropa telah banyak memonopoli perdagangan  Indonesia, mulai dari inggris, belanda yang memanfaatkan Indonesia sebagai lahan untuk pemasukan negaranya sendiri tanpa memperhatikan kondisi social masyarakat yang  memprihatinkan.
Tidak hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas mengeksplorasi dan mengeruk sumber daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan penduduk pribumi untuk menuruti apa yang menjadi keinginan bangsa barat, seperti halnya menanam tanaman ekspor (tebu, teh, kopi dll).
Setelah dominasi monopoli inggris berakhir di Indonesia, maka kemudian tampil belanda yang menggantikan inggris sebagai penguasa yang mengatur Negara jajahannya sejak 1816. Dengan kedatangan belanda tersebut menjadikan rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja dinegeri sendiri, untuk memaksimalkan penguasaan dan pengerukan SDA Indonesia sampai kedasar-dasarnya, colonial belanda membangun sekolah yang bertujuan untuk melahirkan tenaga ahli baru yang nantinya kelak akan dipekerjakan di perusahaan belanda. Tetapi sebelumnya pada tahun 1819 belanda juga menderikan sekolah tetapi hanya untuk warga belanda dan pejabat tinggi saja. Kemudian tahun 1871, seiring dengan kemenangan kaum liberalis di parlemen belanda, menuntut pendidikan di hindia belanda juga mencakup rakyat pribumi, kemudian dibentuk UU agraria yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada modal swasta belanda masuk ke Indonesia seperti dengan di buatnya Agrarische Wet.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. Tujuan dari UU tersebut adalah Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing. Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain. Serta Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Ternyata dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin yang akhrnya Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. Yang kemudian Munculah gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah Belanda.

Konsep Politik Liberal
Politik kolonial liberal di Eropa pada awalnya merupakan cerminan antara perbedaan dalam bidang politik yang berhaluan totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan liberalisme (sosialisme dan kapitalisme). Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi politik yang relatif bisa dilihat pada studi perbandingan mengenai negara-negara fasis maupun komunis. Doktrin liberal jauh lebih mengutamakan masyarakat dari pada negara. Dalam doktrin liberal klasik, “masyarakat pada dasarnya dianggap mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan negara baru ikut campur tangan hanya kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat sukarela menemui kegagalan”. Dengan demikian, teori Negara sebagai alat menempatkan negara pada kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat menjalankan kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara bahkan jika negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
Selain itu, konsep hukum dibalik hukum secara langsung diturunkan dari pandangan kosesual Negara dan masyarakat dalam liberalisme klasik. Masyarakat dipahami sebagai himpunan bermacam-macam perkumpulan sukarela, dan negara itu juga pada intinya dianggap sebagai badan yang diorganisasikan secara sukarela, karena otoritasnya diperoleh atas dasar persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme selalu menganut pemikiran bahwa hubungan antara Negara dan masyarakat atau antara pemerintah dan individu pada akhirnya ditentukan oleh hokum yang kddudukannya lebih tinggi daripada hukum negara.
Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat.  Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara.   Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Bila liberalisme awal (early liberalism) lebih menekankan pada hak-hak politik, maka sejak tahun 1900-an, liberalisme telah mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya liberalisasi pemikiran.

Latar Belakang Politik Etis (Balas Budi)
Pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta.
loading...
Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan negara juga akan bertambah banyak.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swastaasing untuk menenemkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan, bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50-75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya orang-orang bukan pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat   pertentangan   dari   golongan liberalis   dan humanitaris. Kaum   liberal dankapital memperoleh   kemenangan   di parlemen. Terhadap   tanah jajahan (Hindia   Belanda), kaum   liberal   berusaha memperbaiki   taraf kehidupan   rakyat   Indonesia.   Keberhasilan tersebut dibuktikan  dengan   dikeluarkannya   Undang-Undang Agraria tahun 1870. 
Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1. Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha  swasta, serta
2. Pengusaha   dapat   menyewa   tanah   dari   gubernemen   dalam jangka waktu 75 tahun.

Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1)  Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha  
     dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan
2)   Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).

UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan   Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1.   Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2.   Pada   tahun   1891   semua   perusahaan   gula   milik   pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia :
1.  Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2.  Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3.  Perkebunan kina di Jawa Barat.
4.  Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5.  Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6.  Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik pintu terbuka yang  diharapkan   dapat   memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti   berikut:
1. Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2. Rakyat menderita dan miskin.
3. Rakyat   mengenal   sistem   upah   dengan   uang,   juga   mengenal barang-barang ekspor 
   dan impor.
4. Timbul   pedagang   perantara.   Pedagang-pedagang   tersebut pergi ke   daerah   
    pedalaman,   mengumpulkan   hasil   pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5. Industri   atau   usaha   pribumi   mati   karena   pekerja-pekerjanya banyak yang pindah 
    bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.

Kemunculan Politik Etis (Balas Budi)
Pengaruh Politik Liberalis Bagi Indonesia Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa negara seharusnya tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum, dengan demikian kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala rintangannya yang sebelumya telah dibuat dihapuskan.
Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khususnya di Indonesia. Mereka berpendapat ekonomi Hindia-Belanda akan berkembang dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya diartikan sebagai kebebasan berusaha dan adanya modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi. 
Penanaman modal di Indonesia, sebagian besar diarahkan untuk pembangunan perkebunan-perkebunan yang dapat menghasilkan komoditi yang diperlukan bagi bahan dasar industri. Lalu dibangunlah perkebunan- perkebunan yang sebagian besar dibangun di daerah Jawa dan Sumatera. Pembangunan perkebunan ini membutuhkan tenaga kerja yang akan digunakan untuk mengurus perkebunan. Dengan demikian, banyak penduduk yang diangkat menjadi tenaga kerja perkebunan, bahkan untuk perkebunan di Sumatera diangkat tenaga kerja yang berasal dari Jawa. Terjadilan arus transmigrasi dari pulau Jawa ke Sumatera yang dilakukan secara paksa. Bahkan ada di antara orang-orang Jawa ini yang dikirim ke daerah Madagaskar dan Suriname.
Eksploitasi yang dilakukan oleh para kapitalis terhadap penduduk Indonesia dilakukan dengan gaya baru. Para pekerja dipaksa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan dengan upah yang sangat minim dengan beban kerja yang sangat tinggi. Mereka tidak bisa menghindar dari ketentuan tersebut karena mereka terikat kontrak kerja. Pada tahun 1881, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Koelie Ordonantie yang mengatur para pekerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, para kuli bekerja sesuai dengan kontrak. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dijatuhkan hukuman berupa poenale sanctie. Para pengusaha diberikan kewenangan dan hak yang besar untuk memperlakukan dan menjatuhkan hukuman para pekerja sesuai dengan keinginannya.
Untuk mendukung program perkebunan tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun berbagai prasarana, seperti irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api, serta pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan sarana-sarana tersebut seringkali memakan korban jiwa yang sangat banyak dari penduduk Indonesia karena mereka dipekerjakan secara paksa. Akan tetapi dengan pembangunan prasarana tersebut, terutama pembangunan jaringan jalan raya telah menimbulkan pengaruh bagi tumbuhnya mobilitas penduduk. Pembangunan jalan raya dan kereta api memungkinkan pertumbuhan dan hubungan antarkota secara cepat. Dampaknya adalah lahirnya kota-kota baru di daerah pedalaman seperti Malang, Bandung, Sukabumi, dan sebagainya. Lahirnya kota-kota baru tersebut memicu pertumbuhan urbanisasi yaitu gerak perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum liberal dianggap hanya   mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari keuntungan  tanpa memerhatikan   nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran. Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat  besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita.

Penerapan Politik Etis Di Indonesia
Seiring dengan hal tersebut, gerakan-gerakan humanis yang berkembang di negeri Belanda  mendorong diberlakukannya politik balas budi terhadap bangsa Indonesia. Desakan parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa merupakan awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang dijalankan kaum liberal dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi Indonesia.
Sejak saat itu, mndal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang usaha, terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti Belanda dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.  Dalam realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk pribumi menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi hanya menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker,  dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Salah satu politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr. C. Th. Van Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada tahun 1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu bangsa Indonesia  untuk mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya.
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1)  Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk,
2)  Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik,
3) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang akhirnya politik etis ini mulai dijalankan d Indonesia menurut tafsiran dan kemauan pemerintah kolonial Belanda. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda.  Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:
1.    Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2.    Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan   yang   dibuka untuk seluruh rakyat, hanya  diperuntukkan   kepada   anak-anak   pegawai   negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3.    Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, (peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya). Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya. Ini didasarkan karena kecenderungan politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
Tetapi Lambat laun program politik etis ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam hal program pendidikan (edukasi). Program pendidikan yang awalnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga administratif rendahan, pada akhirnya semakin berkembang. Tidak hanya jenjang pendidikan semakin tinggi, tetapi juga menjangkau spesialisasi bidang pendidikan lainnya seperti kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin mengenal pola pendidikan Barat yang pada akhirnya menjadi benih-benih pergerakan indonesia menuju kemerdekaan.

Kesimpulan
            Dari penjelasan sebelumnya, telah diketahui bahwa dasar munculnya politik etis antara lain, berawal dari kemenangan kaum liberalis dalam negeri belanda yang banyak memberikan pengaruhnya terhadap Negara jajahannya atau koloniya, bukti nyata dari keberhasilan kaum liberalis di parlemen belanda adalah dikeluarkannya UU Agraria di Indonesia, yang bentuk nyatanya adalah untuk memberikan hak kepada penduduk pribumi, seiring munculnya agrarisch wet, muncul juga agrarische belsuit sebagai penerapan dari agrarische wet, dimana menentukan domein Negara dalam artian tanah milik pribumi yang tidak bisa dibuktikan dengan kesaksian orang lain misalnya (adat) maka diakui sebagai tanah Negara (colonial belanda).
            Dengan berlakunya agrarische wet, membuka peluang pagi perusahaan asing atau pemodal asing untuk membuka perusahaan perkebunananya di Indonesia dengan cara menyewa kepada penduduk pribumi, ataupun kepada pemerintah penguasa, dalam peraturanya sewa tanah dibatasi maksimal 75 tahun. Secara kasat mata ini dipandang menguntungkan rakyat, dengan asumsi, selain rakyat menyewakan tananhnya kepada pengusaha dan kemudian bekerja di perusahaan belanda mereka mendapat penghasilan yang banyak dan dapat sejahtera, tetapi dalam kenyataannya rakyat semakin menderita, sehingga muncul politik etis yang dimotori oleh van Deventer, (edukasi, irigasi dan emigrasi). Tetapi dalam perjanannya banyak sekali penyimpangan yang terjadi. Ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya konsep etis tersebut ditafsirkan sendiri oleh pemerintah belanda.

DAFTAR PUSTAKA (Bacaan)
Mu’adi Sholih.2008.Penyelesaian  sengketa   hak atas tanah Perkebunan melalui cara non litigasi.Semarang:Departemen Pendidikan Nasional Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Prof.Harsono Budi.1999.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria.Jakara:Djambatan.
Tarunasena M.2009. Memahami Sejarah SMA Dan Ma Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial.Jakarta:Departemen pendidikan Nasional.

Sumber website:
(Diunduh Pada 22 April 2012)
Chekp4yz’s blog.28 Juli 2010/9:24 PM. Bab II Agraria. (Diunduh Pada 22 April 2012)

1 comment: